MANADO, LensaUtara.id – Saat ini tengah ramai diperbincangkan mengenai kehadiran Agama Malesung di Tanah Adat Minahasa. Meskipun masih dikategorikan sebagai penghayat kepercayaan, namun kelompok yang menamakan diri sebagai Laroma (Lalang Rondor Malesung; ‘jalan lurus malesung’; arti umum bahasa Minahasa-red) ini, lebih dikenal dengan Agama Malesung.
Terkait kehadiran Agama Malesung, Pdt. Dr. Nico Gara, MA, mantan Sekretaris Umum Sinode GMIM berpendapat, ini adalah kegagalan gereja.
Menurut dia, harus diakui gereja ternyata tidak mampu meyakinkan mereka, sehingga mereka berbalik mencari identitas baru. Apalagi kondisi saat ini, dengan arus teknologi dan modernisasi, banyak orang yang ingin mencari kebahagiaan masing-masing. Termasuk mencari kepercayaan dimana ia merasa lebih tenteram dan bahagia.
Bagi Pdt Nico Gara, gereja tidak boleh menghakimi untuk menyatakan apakah mereka sesat atau tidak. “Karena secara hukum mereka mempunyai hak untuk beraktifitas. Tugas gereja adalah bagaimana menjaga umatnya agar jangan mengikuti ajaran lain. Apalagi tertarik dengan kepercayaan tersebut,” ujar Nico Gara yang juga Dosen Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado.
Ia menilai, kejadian yang sama pernah terjadi ketika Perang Permesta. Di mana sebagian besar anggota Permesta menggunakan kekuatan gaib (majig) yang sehari-hari disebut “Opo-opo”. Mereka dibekali dengan ilmu kebal dalam perlindungan diri.
“Kejadian di Permesta ini, menunjukkan bahwa mereka kurang yakin dengan kekuatan Tuhan yang diajarkan gereja. Sehingga mereka mencari kekuatan alternatif. Maka ini juga adalah kegagalan gereja,” tuturnya lagi. (jeffry)
Betul. Gereja juga harus mengevaluasi diri khususnya dikalangan para pelayan sejauh mana pengajaran dan karakter berbanding lurus. Supaya jangan kehilangan kepercayaan umat. Umat akan melihat praktek iman sehari-sehari sebagai acuan. Apabila antara perkataan dan praktek tidak sesuai maka umat akan kehilangan kehilangan pegangan, mengalami distorsi iman dan akhirnya mencari jalan yang lain.
Keponakan saya,NADAB Pieter bercerita bahwa Di Holland mayoritas masyarakat adalah ATHEIS yaitu hanya menghormati Dan menghargai sesama …MANUSIA
GEREJA kosong .
Holland negara Pertama mengakui PERKAWINAN Sejenis
Holland tempat keberadaan Pengadilan Kriminal International….yg tidak memandang AGAMA tapi perbuatan.
GUSDUR pernah mencoba penghapusan KEMENTERIAN AGAMA Karena agama urusan pribadi Dan nggak usah diatur Negara
SKRG GEREJA BERLOMBA MENDIRIKAN GEREJA FISIK DAN MELUPAKAN GEREJA YG TERPANCAR DRI IMAN JEMAAT … DULU DI EROPA BERLOMBA MENDIRIKAN GEREJA2 BAGUS DAN MEGAH, TPI SEKARANG GEDUNG2 ITU KODONG …. APAKAH DI INDONESIA PUN AKAN BGTU ?. BIARKAN WAKTU YG MENJAWAB ,??
Bila Pelayanan Gereja mulai tidak menyentuh dan Ketokohan Pemimpin2nya tidak menjadi panutan dan diragukan keteladanannya org akan mulai apatis dan mencari jalannya sendiri.
Agama = tidak kacau, teratur.
Tetapi ketika terlihat ada kekacauan/ ketidakberesan dan salah atur maka org bisa ‘hopeless’ dan mulai cari jalan sendiri.
Gereja bukan gagal.. tapi perlu ditinjau kembali materi pemberitaan Firman.. yg tak seimbang dgn situasi dan kondisi di jemaat” yg berbeda .. antara lain kota dan desa.. juga kegiatan jemaat.. dan tingkat pendidikan dan lain”. Untuk jemaat yg mayoritas petan.. pasti mereka mngharapan siraman rohani yg mmbuat mereka lega dan tak terbeban.. demikian beda dgn yg brprofesi nelayan atau pekerja perusahaan.. dan lain” hal yg menyakut kerukunan keluarga antar tetangga atau ortu dan anak atau juga mungkin kondisi lingkungan yg oleh penduduknya tak mmperhatikam kebersihan..
Sebab yg dari dulu aku melihat bahwa ada patokan.. pelayanan pendeta pada satu jemaat brhasil jika penyetoran keuangan ke wilayah maupun ke sinode ..lancar” saja tak ada kendala.