SETIAP memperingati Hari Pahlawan, kita akan mengenang jasa-jasa para pahlawan Indonesia. Termasuk di dalamnya para pahlawan asal Minahasa.
Sejarah mencatat, lahirnya Republik Indonesia, tidak lepas dari keikutsertaan orang-orang Minahasa dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI.
Siapa yang tidak mengenal pahlawan asal Minahasa, sebut saja antara lain: Walanda Maramis, Sam Ratulangi, A.A. Maramis, LN Palar, Wolter Mongisidi, Arie Lasut, Lengkong, Mogot, Lapian, Taulu, Mononutu, John Lee, Johanna Tumbuan dan masih banyak lagi.
Tidak sedikit orang Minahasa yang telah gugur dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI.
Namun di balik kepahlawanan orang Minahasa, ada juga stigma yang mewarnai pandangan negatif terhadap orang Minahasa.
Stigma itu adalah orang Minahasa pro Belanda dan kebarat-baratan. Bahkan sempat dijuluki provinsi ke 12 Belanda (twaalfe de proviensi). Selain itu juga dianggap pemberontak, dilihat dari peristiwa Permesta.
Oleh karena stigma itu, di masa perjuangan dan mempertahankan NKRI orang Minahasa, terutama yang ada di Jawa harus mengalami penganiayaan dan kebencian, karena dianggap pro Belanda. Tapi kemudian orang Minahasa dapat membuktikan bahwa orang Minahasa juga anti penjajahan Belanda. Karena itu kemudian lahir satu pasukan perlawanan yang dikenal dengan KRIS (Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi). Pasukan yang terdiri dari orang-orang Minahasa inilah yang berjuang mati-matian melawan agresi Belanda.
Begitu pula dengan stigma pemberontak, karena Permesta. Meskipun banyak argumen yang mengatakan bahwa Permesta sesungguhnya bukan pemberontakan, karena tetap pada NKRI, tapi stigma itu sulit dilepaskan. Dan dampak itu terjadi selama beberapa dekade, di saat Presiden Soeharto memerintah, hampir tidak ada orang Minahasa yang menduduki jabatan penting. Padahal di masa Presiden Soekarno, orang Minahasa selalu mendapat kepercayaan, baik di bidang pemerintahan, maupun militer.
Dalam beberapa percakapan dengan beberapa warga di Jawa, stigma itu masih melekat. Mereka meskipun dengan nada halus, memberi pernyataan, orang Minahasa itu kebarat-baratan. Dulunya, tutur mereka, orang Minahasa terkesan pro Belanda.
Begitu pula soal Permesta, mereka menilai peristiwa itu sebagai pemberontakan. Hal itu terkesan dari beberapa mantan pejabat di Pemda Surabaya, yang dulu di masa kecil mereka pernah mengenal orang-orang Permesta yang diangkut ke Jawa Timur.
Mantan anggota Permesta itu sedianya akan dididik jadi tentara Indonesia. Tapi ternyata tidak semua yang berhasil direkrut, dan akhirnya pulang ke Minahasa.
Padahal kalau mempelajari sejarah Indonesia, pasti kita akan mengenal nama-nama Pahlawan asal Minahasa. Dan perlu diketahui, orang Minahasa yang menjadi pahlawan itu, justru hampir seluruhnya berjuang di luar tanah Minahasa. Seperti Sam Ratulangi, AA Maramis, LN Palar itu berjuang di Jawa. Wolter Mongisidi dihukum mati saat berjuang di Makasar. Arie Lasut, Lengkong, Mogot, mati dalam perjuangan di tanah Jawa. Begitu pula dengan petinggi-petinggi militer lainnya, seperti Vence Sumual, Joop Warouw, AE Kawilarang, mereka juga berjuang di luar Minahasa.
Sementara pahlawan-pahlawan lainnya di Indonesia, lebih dikenal sebagai pahlawan yang berjuang di daerahnya sendiri.
Jadi, kesimpulannya, jiwa nasionalisme, kepahlawanan dan patriotisme orang Minahasa terhadap NKRI, tidak diragukan. Selamat merayakan Hari Pahlawan tahun 2022.