BELUM lekang dari ingatan kita, ketika lagu Indonesia Raya berkumandang di Musashino Forest Sports Plaza pada pergelaran Olimpiade Tokyo 2020 Senin, (2/8/2021). Ini merupakan momen yang bersejarah, dimana untuk pertama kalinya sepanjang tampil di Olimpiade, pebulu tangkis Indonesia meraih medali emas Olimpiade di nomor ganda putri.
Iyalah Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang menang 2 set langsung dengan skor 21-19, 21-15. Sekaligus menjadi gelar terakhir yang dipersembahkan Greysia Polii yang resmi mengumumkan gantung raket melalui seremonial bertajuk “Testimonial Day” pada Minggu, (12/6/2022) di Istora Senayan Jakarta.
Awal Karir
Greysia Polii adalah anak dari pasangan berdarah Minahasa Willy Polii dan Evie Pakasi. Bakatnya terendus sejak umurnya masih 6 tahun, dimana Greysia kecil menghabiskan masa kanak-kanaknya dan mengenal olahraga yang membesarkan namanya di Kota Manado, Bakat itu tidak lepas dari peran keluarga dan Deyana Lomban, mantan atlet nasional yang berasal dari Kota yang sama. Hal ini jadi bahan bakarnya untuk mantap berkarir di dunia bulu tangkis saat itu.
Pada 1995 ia dan Ibunya memutuskan pindah ke Jakarta untuk mendapatkan pelatihan dan kesempatan bermain bulu tangkis yang lebih baik. Dirinya bergabung di klub bulu tangkis Jaya Raya Jakarta.
“Saya masih ingat di tahun 2001, waktu saya umur 14 tahun, dimana untuk pertama kalinya saya bermain di Istora Senayan. Saat itu mimpi saya dimulai” ucap Greysia Polii pada “Testimonial Day” (12/6/2022).
PB Pisok Klub Pertama Greysia Polii
Berawal dari Manado, Greys sapaan akrabnya berlatih di Perkumpulan Bulu tangkis (PB) Pisok bersama Butet (Liliyana Natsir), keduanya tercatat sebagai 2 atlet bulu tangkis peraih medali emas Olimpiade. Liliyana Natsir memenangkannya bersama Tantowi Ahmad di nomor ganda campuran pada Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brazil. Dan Greysia Polii bersama Apriyani Rahayu di nomor ganda putri pada Olimpiade 2021 di Tokyo, Jepang.
PB Pisok menjadi klub bulu tangkis tertua di Sulawesi Utara, didirikan pada tahun 1984 tempat ini mencetak 3 atlit juara dunia Ronald Alexander dan 2 srikandi peraih medali emas Olimpiade, namun kondisi tempat latihannya kini sangat memprihatinkan. Memiliki 4 lapangan yang bisa dipakai untuk latihan, bila tidak hujan, tempat itu bahkan tak ayal layaknya sebuah gudang.
Kerusakan pada gedung pelatihan PB Pisok cukup banyak, seperti pintu masuknya yang sudah usang dan lapuk, cat dindingnya kusam dan mengelupas, atapnya bocor dimana-mana.
“Jika hujan maka air tembus ke lapangan. Kami pakai ember untuk menampung air agar lapangan jangan licin,” kata Tomi Runtu, salah satu pelatih PB Pisok pada wawancara bersama Kompas.com (2021).
PB Pisok tidak bisa lepas dari sosok Simon Petrus “Spego” Goni, semasa hidupnya beliau merupakan tokoh yang begitu berjasa, wartawan senior ini adalah pendiri dari PB Pisok, lewat tangannya lahir sejumlah pebulu tangkis yang mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional. Namun, sejak dirinya sakit karena menua dan akhirnya meninggal dunia di tahun 2021, keberlangsungan PB Pisok semakin terbengkalai.
2 Atlet berprestasi besutan PB Pisok lainnya sebut saja Butet (Liliyana Natsir) yang berlatih di PB Pisok pada usia 9 tahun di tahun 1994, peraih medali emas Olimpiade 2016 ini menempa 3 tahun latihan dasarnya di Manado, lalu terbang ke Jakarta pada usia 12 tahun di tahun 1997, sebelum akhirnya masuk pelatnas PBSI di tahun 2002.
Lalu ada nama Deyana Lembon, peraih medali emas di Piala Uber 1996, medali perak 1998 serta sederet medali bergengsi lainnya dari kejuaraan dunia. “Klub Pisok itu punya semboyan: Mati kalau Mati, artinya, kalau saya sudah masuk lapangan, tanggung jawab sudah milik saya sendiri. Pelatih itu tinggal pajangan, semua yang menentukan itu kita”, kenangnya kepada media (Ciprit.com 9/10/2021). Mantan pebulutangkis ganda putri itu mengaku jika para pelatih di PB Pisok kerap menempa mental pemainnya dengan keras, agar memiliki jiwa pantang menyerah.
Dengan semua bukti yang ditorehkan putra-putri daerahnya ini, sudah pantas rasanya pemerintah Kota Manado khususnya fokus mengupayakan secara konsisten untuk terus melahirkan atlet bulu tangkis berprestasi yang menjadi kebanggaan.
Alasan Gantung Raket
Greysia Polii memaparkan 3 alasan utamanya untuk gantung raketnya di puncak karir.
Demi Apriyani Rahayu
Jika tidak pensiun dan masih bermain dengan Apriyani sebagai partner, dikhawatirkan Apriyani dan Fadia tidak dapat mengejar ranking yang jadi syarat mengikuti Olimpiade 2024.
Merasa Sudah Cukup
Kalimat ini menjadi inti yang menguatkan alasannya, Greys mengaku sudah cukup bersyukur bisa bertanding di berbagai laga, meraih banyak prestasi selama dirinya berkarir selama 19 tahun sebagai pebulu tangkis profesional. Bahkan meraih medali emas Olimpiade sebelum menutup karir.
Keluarga
Greysia Polii mengungkapkan dirinya tidak akan meninggalkan dunia bulu tangkis, namun sebelum melangkah lebih jauh dalam kepengurusan bulu tangkis, dirinya akan fokus kepada keluarga terlebih dahulu.
Konsekuensi sebagai seorang atlit, mengharuskannya mengalah untuk banyak hal, dari mulai ego pribadi sampai keluarga. Atas alasan ini, masyarakat akan menaruh paham dan maklum atas keputusan yang diambil sang Srikandi untuk menutup karirnya dengan manis.(taufik)