KEKUASAAN secara teoritis merupakan arena para politisi untuk memperjuangkan dan merumuskan kebijakan publik dalam institusi politik. Kebijakan publik mana yang akan dipilih akan sangat tergantung pada kepiawaian dan lobi.
Kewajiban politisi memperjuangkan kebijakan publik karena harus memenuhi janji-janji politik saat berkampanye sebelum terpilih pada pemilu. Dalam konteks ini tugas politisi sesungguhnya sangatlah mulia. Itulah sebabnya mereka ini sering disebut sebagai wakilnya Tuhan. Karena tugas mereka akan sangat menentukan kemuliaan manusia dapat terwujud yaitu masyarkat adil, makmur dan sejahtera.
Namun pada kenyataannya praktik-praktik politik yang diperankan para politisi di arena kekuasaan, masih menyimpang jauh dari tujuan kekuasaan yang sesungguhnya.
Terdapat tiga motivasi yang kerap mendorong para politisi untuk merebut kekuasaan itu.
Pertama. Merebut kekuasaan bermotif status atau kasta sosial. Menurut teori Maslow bahwa kebutuhan tertinggi seseorang adalah pengakuan dan penghormatan dari orang lain. Orang yang sedang berkuasa, cenderung akan lebih di hormati dan di hargai. Semakin tinggi jabatan, maka semakin besar pula kekuasaanya. Semakin besar kekuasaan maka penghormatan atas dirinya akan semakin besar pula. Jika ada orang tanpa jabatan yang hadir dalam pesta nikah atau dalam kegiatan seremonial lainnya, lalu karena keadaan tertentu dia datang terlambat maka akan ada dua kondis yang bisa terjadi. Bisa dia pulang karena tidak kebagian kursi, atau tetap bertahan tapi diminta panita untuk duduk dibagian paling belakang atau di luar gedung.
Kondisi seperti ini akan berbeda jauh jika yang mengalami itu adalah seseorang yang sedang memegang jabatan. Meski datang telat, ia tetap akan disambut secara terhormat, disediakan kursi VIP dibagian paling depan dan diberi penghormatan memberikan ucapan atau sambutan.
Kedua. Merebut kekuasaan bermotif ekonomi. Tidak dapat dipungkiri babwa tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat masih banyak didominasi para elit yang sedang berkuasa. Kebijakan negara lebih berpihak pada kemakmuran para elit ketimbang kemakmuran untuk rakyat. Sekali-kali kita bisa membuka dokumen penganggaran publik.
Lihat betapa timpangnya persentase anggaran untuk publik dan anggaran kebutuhan para elit. Itu baru yang sifatnya resmi. Dugaan persekongkolan dengan pihak lain dalam perumusan kebijakan baik anggaran, proyek maupun penempatan pejabat makin memperbanyak pundi-pundi pendapatan. Sebagian tercium KPK, namun tidak bagi yang lihai dan licin.
Ketiga. Motif untuk mendapatkan pelayanan publik yang istimewa. Masalah berat yang masih dialami bangsa ini adalah buruknya pelayanan publik terutama di sektor pemerintah. Hampir semua sektor layanan publik belum mencerminkan pelayanan yang meyenangkan.
Mulai dari transportasi yang macet, kawasan kotor dan tidak nyaman, pelayanan kantor yang tidak bersahabat seperti sulitnya area parkir dan toilet kotor. Pejabat dan pegawai kerap tidak berada ditempat ketika ada masyarakat hendak membutuhkan pelayanan. Disuruh kembali di waktu atau hari lain tentu bermasalah apalagi kondisi kota sangat macet. Dalam hal pelayanan kesehatan, meski ada usaha untuk memperlakukan sama untuk semua pasien namun agak berbeda jika memperlakukan pasien yang kerabatnya memiliki kekuasaan.
Dalam keadaan tertentu ada pasien yang sekarat membutuhkan pelayanan tapi petugas kesehatan tidak sedang berada di tempat. Mustshil ini akan terjadi jika pasien yang di rawat itu sedang berkuasa atau memiliki kerabat dekat yang sedang berkuasa.
Jika rakyat biasa, menerobos sulitnya kemacetan adalah konsumsi setiap hari. Beda dengan yang punya kuasa. Ia memiliki mobil pengawal agar jalannya dilancarkan, lampu merah bisa terobos dan tidak sulit baginya mendapatkan lokasi parkir di area publik.
Dalam hal pengurusan adminitrasi di banyak kantor, jika rakyat biasa harus antrian panjang dan wajib mengikuti prosedur, tapi tidak bagi sebagian pemilik kuasa. Tidak perlu antrian, tidak perlu berada di front office. Karena kekuasaan yang melekat, sang pemilik kuasa sering mendapat pelayanan istimewa yakni di jemput langsung pemimpin kantor dan dilayani secara kusus.
Sungguh nikmat jika seseorang itu mencapai kekuasaan. Tidak sekedar tahta dan harta tapi juga kasta.
Itulah sebabnya banyak pihak yang berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan. Sebagian sanggup menjual harta benda dan meminjam uang di bank agar punya modal membeli dukungan partai politik (candidate buying) dan menyuap pemilih (money politic) agar bisa terpilih pada pemilu atau pilkada.
Sebagian ada yang bersekongkol dengan penyelenggara agar suaranya di markup, sebagian juga menskenariokan konflik sosial agar mendapatkan keuntungan dari tindakannya itu
Pemilu 2024 menjadi momentum bagi parpol dan pemilih untuk mengutus wakilnya berkuasa. Meski persentasenya kecil, tetap saja masih ada politisi yang berjiwa mulia dan bervisi kemanusiaan. Pilihlah mereka sebagai wakil kita. Politisi yang hendak berkuasa tapi hanya bermodalkan popularitas instan (baliho/iklan) dan politik uang besar kecenderungan hanya bermotif pada ketiga aspek diatas.