Manado: Dari Kota Kolonial Menuju Kota Wisata

Meity Jane Wowor, SS, M.Si. (Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Unsrat Manado)

Redaksi LensaUtara
Redaksi LensaUtara
5 menit Membaca
Ilustrasi.(Foto: ist.)
Meity Jane Wowor, S.S., M.Si. (foto: ist.)

Diskusi mendalam maupun diskusi lepas mengenai sejarah sebuah kota semakin menarik untuk terus dilakukan. Hal ini tentunya tidak lepas dari adanya kenyataan historis yang mengiringi tumbuh kembangnya sebuah kota dalam prosesnya yang kadang–kadang dapat ditemui adanya keunikan–keunikan tersendiri. Dimana keunikan itulah yang telah membedakan antara satu kota dengan kota lainnya. Kota Manado pun demikian.

Unik dalam arti bahwa dalam perjalanan sejarahnya tidak hanya dimulai dari dibangunnya sebuah benteng atau karena letaknya yang di muara sungai. Melainkan karena dalam perjalanan sejarahnya kota ini telah dibedakan oleh munculnya homogenitas pada masyarakat dan budayanya atau juga oleh morfologi dan infrastrukturnya. Ada campuran manusia dan budaya di Kota pantai ini yang dalam catatan sejarahnya di mulai dari masuknya budaya barat (Kristen) atau budaya kolonial yang kemudian langsung berdampingan dalam budaya lokal Minahasa.

Yang juga mendominasi adalah masuknya budaya yang bercorak Islam. Awalnya datang atau dibawa masuk dari Ternate dan Gorontalo. Masuk pada kisaran abad ke-17.  Sedangkan golongan Hindu yang terlambat masuk diketahui baru memulai rintisannya pada dekade 1960an.

Dalam perkembangannya konfigurasi penduduk kota pun demikian. Menunjukkan homogenitasnya masing–masing yang berkembang dalam sekat-sekatnya sendiri ataupun dengan sekat-sekat yang tidak lagi tegas. Suatu gambaran keanekaragaman kebudayaan penduduk dapat misalnya dilihat dari adanya kebudayaan tradisional. Kebudayaan yang berlatar agama seperti di atas, lalu kebudayaan berlatar politik. Kemudian kebudayaan daerah yang lahir sebagai antitese dari kebijakan politik pemerintah, serta yang terakhir yaitu apa yang disebut sekarang sebagai kebudayaan global.

Apa yang hendak disampingkan setelah melihat deskripsi di atas segera dapat menunjukkan dalam suatu simpulan bahwa daya tarik Manado sesungguhnya secara langsung telah mengundang orang melakukan migrasi ke daerah ini.

Kalau bagi bangsa Barat karena ketertarikan atau sumber daya alam Manado – Minahasa lewat hasil buminya, terutama beras dan hasil hutan dan lautannya. Berikut para pendatang lainnya, juga tertarik dengan pembangunan prasarana dan sarana yang dibangun pemerintah Kolonial yang berpusat di loji yang lantas berubah menjadi benteng dan seterusnya menjadi pusat pemerintahan.

Selain sebagai pusat pemerintahan perkembangan kemudian menunjukkan Manado juga telah menjadi Kota jasa dan perdagangan sehingga dengan sendirinya mampu menjadi daya tarik tersendiri. Didorong oleh kondisi ekonomi bahwa daerah asal para imigran tidak lebih baik dibanding Manado, maka keinginan melakukan lawatan ke Manado pun terus meningkat dari waktu ke waktu.

Migrasi yang dapat diartikan sebagai tindakan perpindahan atau melawat bagaiamanapun memiliki arti berwisata atau dengan kata lain mereka harus keluar dari tempat semula untuk mencari daerah baru lepas dari tujuan utamanya yang adalah untuk tinggal selamanya atau hanya sementara.

Tindakan “berwisata” ini memang dilakukan bukan hanya oleh orang – orang barat yang terutama berasal dari Eropa. Namun juga dari Timur jauh seperti orang Arab maupun dari wilayah Utara seperti orang Cina. Selebihnya lagi yaitu suku bangsa dari sesama wilayah nusantara yang menyusup daerah ini, suatu daerah yang lebih memiliki peluang atau daya tarik dibanding tempat asal mereka.

Seperti dilihat dari representai keberadaan suku–suku bangsa yang mengisi kota Manado sekarang : Sangir, Talaud, Ternate, Gorontalo, Jawa, Makassar, dan banyak lagi. Selanjutnya, seperti disebutkan bahwa infrastruktur fisik akhirnya menjadi yang harus disediakan oleh pengelola kota (pemerintah) sedangkan: morfologi kota terkait struktur masyarakat juga yang perlahan–lahan dapat dicairkan menjadi homogen, sehingga seperti inilah yang berlaku di Kota Manado sekarang.

Ada juga sekat–sekat yang tidak terlalu ekstrim tampak di permukaan, baik menyangkut perbedaan agama, tradisi dan sebagainya. Namun sekali lagi, semua ini tidak terlihat dominan. Semua telah dan dapat dicairkan oleh adanya semangatkebersamaan, semangat persatuan, semangat membangun yang secara umum mengarah kepada satu visi dan kesamaan visi ini pulalah yang terangkat di tengah masyarakat kota, terutama dalam pandangan bersama menjadikan Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia untuk tahun tahun setelah 2010 bahkan yang telah menjadi penguatan dalam pebangunan sampai saat ini.(**)

Bagikan Artikel ini
Tinggalkan ulasan

Liputan Khusus

Berita, Update, Preview Pertandingan

selama Piala Dunia 2022 Qatar hanya di LensaUtara.id

adbanner