MANADO, LensaUtara.id – Dalam Sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, banyak tokoh perintis kemerdekaan Indonesia yang berjasa menjadi pelopor perjuangan menuju Indonesia merdeka. Salah satu tokoh Sumpah Pemuda itu adalah Johanna Tumbuan, wanita asal Minahasa, Sulawesi Utara, kelahiran Amurang 29 November 1910.
Dalam perjalanan perjuangannya sebagai anak bangsa, ia telah memperoleh penghargaan negara atas jasa-jasanya. Hanya saja sampai saat ini ia belum memperoleh status sebagai Pahlawan Nasional.
Oleh karena itu di saat peringatan Sumpah Pemuda tahun 2022 ini, selayaknya Pemerintah Indonesia untuk segera memberikan penghargaan atas jasa-jasanya sebagai Pahlawan Nasional.
Dalam catatan sejarah, Johanna Tumbuan Masdani (29 November 1910 – 13 Mei 2006), atau juga dikenal dengan panggilan Jo Masdani adalah seorang tokoh perintis kemerdekaan Indonesia. Nama Masdani di belakang nama aslinya adalah nama suaminya yang juga seorang tokoh pergerakkan nasional.
Ia dilahirkan dengan nama Johanna Tumbuan. Ia turut hadir dalam peristiwa-peristiwa penting sejarah Indonesia yaitu Kongres Pemuda Kedua pada tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Di saat peristiwa Sumpah Pemuda di tahun 1928, Johanna Tumbuan saat itu masih berumur 18 tahun. Ia merupakan utusan Jong (Pemuda) Minahasa dan Jong Sulawesi.
Johanna Tumbuan meninggal pada tanggal13 Mei 2006 (dalam umur 95 tahun)
Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua pada bulan Oktober 1928 dan turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain seperti Mohammad Yamin, Rusmali, dan Assaat. Ia pun bertemu dengan suaminya yang juga seorang tokoh pergerakan kemerdekaan bernama Masdani.
Selain itu, Johanna juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam catatannya ia pernah menulis, “Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta.”
Johanna juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia.
Di alam kemerdekaan, Johanna menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah lulus ia mengabdikan diri sebagai dosen psikiatri di almamaternya sejak 1961. Pada tahun 1970-an, ia sempat pula mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris setelah suaminya meninggal pada bulan Oktober 1967.
Hampir sama seperti suaminya, Johanna banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1953, ia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo. Pada tahun 1958, ia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Soeharto, ia mendapat Bintang Satyalancana Penegak. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 oleh Presiden B. J. Habibie. Secara keseluruhan, Johanna mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.
Johanna meinggal pada tanggal 13 Mei 2006 dan ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada tanggal 15 Mei 2006.