Catatan Teologis Pdt. Welly Pudihang tentang Keponakannya Bharada Eliezer

Jeffry Pay
Jeffry Pay
6 menit Membaca
Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu.(Foto: ist.)

MANADO, LensaUtara.id – Berita terkait polisi tembak polisi yang melibatkan Irjen Sambo dan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu kini masih ramai dibicarakan. Dan banyak orang masih penasaran mengenai kelanjutan penanganan kasusnya.

Di balik ramainya pemberitaan itu sebuah catatan yang bersifat teologis muncul dari paman Bharada Eliezer sendiri, yang adalah seorang Pendeta GMIM, yakni Pdt Welly Pudihang. Pdt Welly adalah Ketua Badan Pekerja Wilayah GMIM Semenanjung.

Dalam tulisan Pdt Welly Pudihang, ternyata Eliezer alias Icad,  pernah mengatakan kepada ibunya, “Jika saya tidak menembak, saya akan ditembak”.

Berkaitan dengan pernyataan Bharada Eliezer kepada ibunya itu Pdt Welly Pudihang memaparkan sebuah renungan teologis yang ia posting di grup media sosial “GMIM Gerejaku”, Minggu (28/08/2022).

Berikut catatan teologis Pdt Welly Pudihang tersebut:
Baru kali ini ngana pe om Welly ba tulis tentang ngana Icad.

Dalam hal ketaatan  terhadap atasan kita, 2 kata di bawah ini selalu berdempetan dan memayunginya:

  1. Patuh
  2. Patut

Kamus Besar Bahasa Indonesia disingkat KBBI mendefinisikan arti kata “patuh” adalah “taat aturan” atau “berdisiplin”. Sedangkan kata “patut” artinya adalah sudah “seharusnya”, “sepantasnya” dan “selayaknya”.

Dalam tekanan berat dan situasi yang mencekam saat kejadian berdarah itu terjadi, anak kami, keponakan kami Bharada Eliezer dia begitu patuh terhadap atasanya, dengan memejamkan matanya  dia menembaki : “dooor…dooor…dooor” , muntahan peluru menembusi tubuh sahabatnya itu dan seketika sahabatnya itu meregang nyawa.

“Jika saya tidak menembak, saya akan ditembak”.

Demikian ucapan ibunya kepada saya meneruskan ucapan anaknya (via telpon).

Bagaikan makan buah simalakama (adalah suatu kondisi yang serba salah) yaitu keadaan ketika seseorang harus memilih antara dua hal yang sangat sulit untuk ditentukan.

Memang benar, sebagai seorang prajurit yang setia,  bharada Eliezer sangat patuh terhadap atasnya itu, tetapi tindakannya menghilangkan nyawa orang lain tidak patut dicontohi karena memang itu dilarang dalam Hukum Taurat “Jangan Membunuh”.

Disinilah nurani kita diuji untuk melakukan kehendak Tuhan. Terbersit satu harapan saat keluarga Barada Eliezer memohon ampun atas peristiwa memiluhkan itu. Dalam keadaan hati tersayat dan luka batin menganga terucap kata sejuk yang keluar dari bibir Samuel Hutabarat ayahanda  Brigadir  Yosua yang mengutip perkataan Yesus dalam Lukas 23:34a “Ya Bapa, ampunilah mereka , sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Sungguh mulia hatimu bapak Samuel Hutabarat. Engkau bukan hanya pendengar firman Tuhan, tetapi engkau adalah pelaku firman Tuhan.

Jika berbicara kondisi batin yang dialami Bharada Eliezer saat kejadian naas itu berlangsung, tidak jauh berbeda yang dialami oleh penerima Surat Ibrani dimasa itu. Mempertahankan Kristus atau mengutuki Kristus. Taat terhadap Kristus atau taat terhadap Kaisar. Taat terhadap Kristus konsekuensinya adalah mati. Taat terhadap Kaisar konsekuensinya adalah hidup.

Dalam kondisi seperti ini, banyak orang Kristen menjadi murtad, tetapi ada sebagian tidak takut kehilangan nyawa mereka alias martir. Benarlah apa yang dikatakan Tertulianus “Darah para Martir adalah benih gereja”.

Ditengah penganiayaan hebat di masa itu, dan dalam keadaan tertentu , penulis Surat Ibrani menyarankan orang Kristen untuk taat kepada pemimpin mereka sebagaimana hal itu terekam sangat jelas dalam Ibrani 13:17 “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka”. Jika tidak, “hal itu tidak akan membawa keberuntungan bagimu”.

Pdt Welly Pudihang dan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu.(Foto: ist.)

Harta, jabatan, dan tahta sering menggoda manusia menjadi “Homo Humoni Lupus” (manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Untuk menahan gempuran-gempuran hidup yang akan  menyulitkan kita menjalani hidup ini, doa adalah jawaban pertama yang kita harus kerjakan. Isi doa yang saya panjatkan kepada Tuhan setia hari adalah :

“Ya Tuhan, jika aku melakukan kebaikan berkatilah aku. Dan, jika aku melakukan kejahatan cegalah aku ya Tuhan”.

Ditengah kesulitan hidup, betapa penulis Surat Ibrani menekankan pentingnya doa. Perhatikan kata-katanya di ayat 18 “Berdoalah terus untuk kami”.

Dari kisah dua anak Tuhan Eliezer dan Yosua,  mungkin kita tidak akan pernah mengenal sosok yang  menjadi garda terdepan untuk mengungkapkan kebenaran yaitu Kamarudin Simanjuntak pengacara keluarga Yosua. Beliau disetiap percakapan selalu menyebut Tuhan Elohim. Keberanianya membela kebenaran semakin kuat saat istri dan anaknya dibakar hidup-hidup di mobil. Dari kejadian sadis ini, Kamarudin tidak berhenti menyuarakan kebenaran.

Saya mengutip penggalan kata2 Rick Warren ini: “Seekor ikan tidak pernah bahagia hidup di daratan, karena ikan dijadikan untuk air. Seekor elang tidak pernah merasa puas jika burung itu tidak boleh terbang”. Demikian pula dengan kita. Kita tidak akan pernah bahagia, jika kita mati rasa akan kebenaran.

Satyam Eva Jayate
(Kebenaran pasti akan menang)

“Meskipun kebohongan berlari seperti kilat, pada suatu waktu kebenaran pasti akan mendahuluinya”.
“Air Sejuk” Semenanjung ini tetesannya semakin kuat untuk mencari celah-celah untuk mengungkapkan kebenaran.
Ketua BPMW GMIM Semenanjung
Melayani Tuhan Di Tengah Tantangan, Semakin Dibabat Semakin Merambat

Bagikan Artikel ini
Tinggalkan ulasan

Liputan Khusus

Berita, Update, Preview Pertandingan

selama Piala Dunia 2022 Qatar hanya di LensaUtara.id

adbanner