SASTRA lisannya orang Minahasa, begitu disebutnya. Mah’zani berasal dari kata zani (bunyi yang di dengar) dalam dialek Minahasa (Tombulu), adalah budaya akar yang ditanam leluhur orang Minahasa jauh sebelum bangsa ini lahir.
Kalau ditelisik dari lirik dan cara nyanyian ini dinyanyikan, Mah’zani adalah simbol dari persatuan dan puja-puji kepada Tuhan. Beramai-ramai, bersahut-sahutan dengan nada yang diatur senandungnya.
Tercatat, budaya sastra ini pertama dikemukakan pada era tahun 1821 (C. G. C Reinward 1858:550) yang dilantunkan para petani saat memetik padi menyambut panen. Memasuki peradaban baru Mah’zani juga dilantunkan pada saat menyambut tamu kehormatan.
Sastra lawas ini sudah susah ditemukan bahkan di wilayah subetnik Tombulu sendiri yang menjadi asal mula budaya ini ada. Rurukan (Tontembuan) adalah salah satu Desa/Kelurahan yang masih menjaga kelestarian budaya si nenek moyang.
Di Kelurahan Rurukan sesuai data yang diperoleh dari Lurah bahwa disana setiap lingkungan terdapat group Mah’zani bahkan ada lingkungan yang memiliki lebih dari satu group Mah’zani.
“Petani-petani di Rurukan ini, saling bernyanyi tentang Mah’zani ini dari bersaut-sautan berbalas-balasan, sehingga semangat mereka dalam pekerjaan semakin tinggi,” jelas Denny Christofel Kaunang (Staf Kelurahan Rurukan I/Warga).
Dan inilah salah satu persembahan budaya asli Minahasa yang disiapkan untuk dipertontonkan pada saat pergelaran Tomohon International Flowers Festival (TIFF) pada 8-14 Agustus 2022 nanti. Budaya sastra tua bersejarah penuh makna yang layak bisa dinikmati secara langsung.(taufik)