Itulah “maengket”. Ritual, tarian dan nyanyian bersama mengingat kerja keras mulai dari membuka ladang, menyemai, menanam dan memelihara tanaman padi. Semua itu dihayati sebagai upaya melanjutkan kehidupan bersama komunitas.
Para penari dengan penuh penghayatan menyanyikan syair-syair ini:
Wailan si Rumengan ne patombokan am bene e owei.
la un engket ni Rumengan ne patombokan am bene e owei
Si Empung Maajangbene e patombokan am bene e owei.
Poipojan rindengannomei e patombokan am bene e benei.
Wanam bua ang kaimio e patombokan am bene e owei
Wen kamijmengupumo e patombokan am bene e owei…..
Nama-nama leluhur primordial (wailan, empung, opo) disebut untuk untuk menyatakan syukur atas panen padi (bene, wene). Padi yang dimasak lalu dimakan dalam bentuk nasi dihayati sebagai pemberian semesta. Kehidupan sebagai “tou” terintegrasi dengan “wanua/roong”, dan semua terhubung dengan sejarah kehidupan bersama sejak zaman leluhur. Sumber-sumber kehidupan berasal dari “uma” (ladang, kebun), “talun” (hutan), dan “laur” (sungai, danau, laut).
Kehidupan leluhur ini adalah serba religius. Karena padi dihayati pemberian dari Yang Ilahi melalui para leluhur dan kebersamaan komunitas, maka panen padi baru adalah ritual merayakan kehidupan bersama. Kehidupan yang terus berlanjut disebabkan oleh adanya relasi resiprokal (mapalus) bukan transaksional.
Saya kira itulah makna kultural religius pada apa yang kemudian disebut pesta rakyat “pangucapan syukur” kini. Suatu cara atau bentuk penghayatan iman atas berkat kehidupan yang berakar pada kesadaran otentik keminahasaan tentang bagaimana kehidupan berkaum dimulai, bagaimana mengembangan dan memeliharanya. Kerja bersama untuk memperoleh hasil dihayati sebagai akibat dari adanya praktik hidup “bermapalus”.