JAKARTA, LensaUtara.id- Pemerintah memberi perhatian serius dan tetap berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional. Berbagai kebijakan juga telah ditetapkan untuk mendukung hal tersebut. Salah satu kebijakan yang diterapkan yakni penetapan Pungutan Ekspor (PE) menjadi US$0/MT yang berlaku sejak 15 Juli 2022.
Merespon kondisi harga CPO terkini, Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menggelar rapat secara hybrid, Senin (31/10), yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa PE US$0/MT dilanjutkan per 1 November 2022 pukul 00.00 WIB. Kebijakan tersebut diterapkan karena Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel lebih rendah daripada HIP Solar sehingga belum ada pembayaran insentif biodiesel. Maka dari itu, tarif PE sebesar US$0/MT diperpanjang sampai harga referensi CPO lebih besar sama dengan US$800/MT.
“Insentif ini kita pertahankan, tarif US$0/MT diperpanjang sampai referensi harga lebih besar atau sama dengan US$800/MT. Karena sekarang harganya masih sekitar US$713/MT, jadi tarif PE US$0/MT berlaku sampai bulan Desember. Tetapi begitu harga naik ke US$800/MT, tarif PE US$0/MT tersebut tidak berlaku,” kata Menko Airlangga dalam keterangannya Senin (31/10).
Penyesuaian terhadap skema tarif pungutan ekspor diharapkan memberikan efek keadilan dan kepatutan terhadap distribusi nilai tambah yang dihasilkan dari rantai industri kelapa sawit dalam negeri. Pungutan yang dipungut dari ekspor dikelola dan disalurkan kembali untuk fokus pembangunan industri kelapa sawit rakyat. Ketersediaan dana dari pungutan ekspor dapat meningkatkan akses pekebun swadaya terhadap pendanaan untuk perbaikan produktivitas kebun dan mendekatkan usaha pada sektor yang memberikan nilai tambah lebih.
Disamping itu juga, rapat juga memutuskan untuk melakukan percepatan realisasi Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti yakni akan dilakukan pembahasan lebih lanjut melalui tim teknis yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan BPDPKS serta mendorong penanaman tanaman sela di lahan PSR yang mencakup komoditas jagung, kedelai dan sorgum sebagai bagian dari program ketahanan pangan.