MINAHASA, LensaUtara.id – Dilihat dari Pemetaan Korupsi berdasarkan Aktor, maka Aktor yang paling banyak terjerat kasus korupsi adalah ASN atau PNS, Swasta dan Kepala Desa. “Berdasarkan pantauan, kasus korupsi yang melibatkan ASN dan Swasta terjadi pada proses pengadaan barang/jasa. Sementara itu Kepala Desa merupakan aktor yang paling banyak melakukan penggelapan anggaran desa,” ujar Penasihat Hukum Stenly Dervie Rau, SH, Senin (20/02/2023).
Menurut Stenly, mengacu pada Pemetaan kasus korupsi berdasarkan Lembaga pada semester 1 Tahun 2021, Pemerintah Desa menjadi lembaga yang paling banyak terjadi kasus Korupsi.
“Kasus korupsi yang melibatkan pemerintah Desa mulai muncul dan trennya terus meningkat sejak pemerintah pusat menggalokasikan anggaran untuk Desa,” tutur Stenly Dervie Rau.
Ia menambahkan, menurut Transparency Internasional, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada Tahun 2021 tercatat meningkat 1 poin menjadi 38 dari skala 0- 100, skor 0 artinya negara tersebut sangat Korup sebaliknya skor 100 menandakan Negara tersebut bebas dari Korupsi sementara skor dibawah angka 50 mengindikasikan Negara tersebut memiliki masalah korupsi serius. Dari segi peringkat Indonesia kini berada di urutan 96 dari 180 Negara.
Pemetaan berdasarkan Modus :
Kegiatan/proyek Fiktif merupakan modus yang paling dominan digunakan oleh pelaku Korupsi;
Modus lainnya yang sering digunakan adalah penggelapan, penyalagunaan anggaran, dan Mark up.
Jika melihat kasus – kasus Korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun terjadi perkembangan secara Sistematis. Hal itu berarti ada problem dalam hal Pengawasan terkait penggunaan serta pengelolaan anggaran tetapi juga masalah mentalitas pelaku korupsi.
Dari persoalan-persoalan korupsi muncul berbagai konsep pemikiran tentang bagaimana cara pemberantasan korupsi dalam rangka menekan terjadinya tindakan koruptif serta mengantisipasi Kerugian Negara yang lebih besar. Metode pemberantasan korupsi melalui cara-cara yang revolusioner harus dilakukan mengingat korupsi bukan hanya sekedar hitung-hitungan matematis semata yang berkiblat pada kerugian ekonomi, melainkan juga kerugian negara akibat korupsi berdampak pada kerugian hak-hak sosial masyarakat.
Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI tanggal 27 Januari 2022 Jaksa Agung Buhanuddin menyampaikan bahwa pelaku Korupsi di bawah Rp. 50 juta tidak perlu di penjara, tetapi cukup diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan Negara. Imbauan itu disampaikan agar jajaran kejaksaan dapat melaksanakan proses Hukum secara Cepat, Sederhana, dan biaya ringan.
Pernyataan Jaksa Agung tersebut menimbulkan pro kontra.
Salah satu alasan lahirnya mekanisme tersebut karena biaya penegakan hukum terkadang lebih besar dari aset korupsi yang di kejar, selain itu karena problem penjara yang sudah over kapasitas.
Menariknya, pasal 4 UU 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi justru menegaskan bahwa Pengembalian kerugian Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku Tindak pidana korupsi. Seharuanya pengembalian kerugian Negara hanya menjadi salah satu faktor yang meringankan pelaku dalam proses pemidanaannya.
Di satu sisi memang pengembalian kerugian negara dianggap sebagai timbal balik karena meringankan tugas negara. Sebab tidak mempersulit dari segi biaya, waktu, tenaga, dan pikiran dalam proses penegakan hukum.selain itu proses pemidanaan dianggap juga menjadikan pelaku koruptor tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan kerugian Negara.
Sementara jika melihat dampak yang ditimbulkan oleh para pelaku korupsi bukan saja mencakup tentang kerugian Negara namun lebih dari itu bercicara kondisi sosia ekonomi masyarakat, kultur, moral, hak-hak masyarakat yang teramputasi akibat korupsi serta aspek- aspek lainnya. Secara substantif mengembalikan kerugian negara tidak menghilangkan perilaku koruptif dari pejabat terkait.
Instrumen penyelesaian peniadaan pidana dengan cara mengembalikan kerugian negara pasti dijadikan senjata ampuh bagi pelaku korupsi ketika perbuatannya diketahui untuk menghindar dari jeratan hukum namun bagaimana jika tidak diketahui?
Intinya, apakah penghapusan pidana bagi Koruptor melalui pengembalian kerugian Negara dapat melenyapkan Perilaku koruptif atau Justru Menyuburkan Korupsi ?
“Pengembalian kerugian keuangan Negara sudah semestinya dilakukan menurut UU Tipikor, hanya saja proses pengembalian kerugian Negara tidak menghapus pidana sebagai bentuk upaya Efek jera bagi koruptor,” pungkas Stenly Rau.