Jakarta, LensaUtara.id – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menargetkan jumlah kendaraan listrik baik roda dua maupun roda empat yang “mengaspal” atau beroperasi di Indonesia pada 2030 dapat mencapai 15 juta unit.
“Dari Pak Presiden sudah menyampaikan kira-kira dibutuhkan 10 persen populasinya (kendaraan listrik) di 2030 atau hitungannya sekitar 2 juta mobil dan 13 juta motor,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin dalam kegiatan Evaluasi Kinerja 2023 Menuju Indonesia Emas secara virtual di Jakarta
Dia menuturkan pemerintah melakukan beberapa program untuk meningkatkan kendaraan listrik di Indonesia. Pertama, dimulainya transisi kendaraan dari konvensional ke listrik. Saat ini sekitar 17 pabrik motor di Indonesia sudah cukup menerapkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40 persen. Sedangkan untuk mobil, baru dua pabrikan, yakni dari China dan Korea Selatan.
Pemerintah juga telah menerbitkan suatu regulasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.
Perpres tersebut memberikan insentif berupa kuota ekspor, pembebasan bea masuk, dan PPnBM kepada produk-produk yang diekspor hingga 2025. Dengan begitu, pemerintah berharap dapat menciptakan ekosistem yang kondusif bagi perkembangan kendaraan bermotor listrik.
“Dan yang mereka produksi harus memenuhi standar TKDN sesuai raodmap industri kita yaitu 40 persen sampai 2026, dan 60 persen sampai 2027,” ucap Rachmat.
Kedua, produsen kendaraan listrik harus memberikan komitmen dan jaminan sehingga jika tidak memenuhi komitmen produksi tersebut maka akan dikenakan sanksi sebesar besaran komitmen yang tidak terpenuhi.
“Jadi misalnya mereka impor 1000 sampai (tahun) 2025 maka mereka harus produksi 1000 juga sampai tahun 2027. Jika mereka produksinya cuma 500 misalnya, maka 500 yang tersisa mereka harus mengembalikan insentif yang mereka telah terima,” tambah Rachmat.
“Salah satu mitra kita yang kita temui di Tiongkok bulan Mei, mereka bahkan mempercepat produksinya selama sebesar satu tahun. Jadi, mereka bilang akan impor dulu terus produksi di Desember 2024 tapi ternyata di Desember 2023 mereka sudah TKDN di atas 40 persen,” kata Rachmat.
“Rupanya dengan effort kita tawaran pemerintah itu disambut baik oleh pabrikan-pabrikan. Tentunya kita berharap selain dari China kita juga mendapatkan banyak inquiry dari berbagai negara-negara,” kata Rachmat.