Jakarta, LensaUtara.id – Selasa (14/2), rapat paripurna telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan sebagai inisiatif DPR RI untuk diselesaikan Komisi IX bersama pihak eksekutif.
Draft RUU Kesehatan yang disepakati delapan fraksi, kecuali PKS itu, berkaitan dengan isu faktual yang terjadi di masyarakat saat ini.
Dalam agenda diskusi publik bertajuk Urgensi RUU Kesehatan yang digelar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jumat (18/2), Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasanugraha mendorong adanya aturan yang mampu menjawab tantangan dalam sistem transformasi kesehatan di Indonesia.
Dari enam pilar transformasi kesehatan, Kunta menyorot beberapa isu penting yang memerlukan perkuatan payung hukum, di antaranya peningkatan mutu dan jumlah distribusi dokter di Indonesia.
Kekurangan dokter spesialis di Indonesia berkaitan dengan distribusi yang terlalu terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di DKI Jakarta. Selain masalah distribusi, kekurangan dokter spesialis di Indonesia juga berkaitan dengan institusi pendidikan yang belum memadai.
Berdasarkan data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 6 Desember 2022, jumlah dokter spesialis di Pulau Jawa mencapai 34.763 orang. Itu berarti, kira-kira ada 22 dokter spesialis untuk setiap 100.000 penduduk di Pulau Jawa.
Sementara di wilayah Maluku dan Papua, hanya terdapat 615 dokter spesialis. Itu berarti, hanya ada sekitar tujuh dokter spesialis untuk setiap 100.000 penduduk di wilayah timur Indonesia.
Jejak digital juga merekam peristiwa antrean puluhan pasien Tuberkulosis (TB) di RSUD Sidikalang Sumatera Utara. Satu dokter spesialis obgin diberhentikan dari RSUD Sidikalang akibat kasus bayi meninggal akibat kelalaian.
Pengelola RSUD Sidikalang mengaku hanya memiliki dua dokter spesialis kandungan. RSUD Sidikalang juga kerap menolak pasien dengan keluhan sakit telinga, hidung, dan tenggorokan karena tidak memiliki dokter spesialis THT.
Nasib yang sama juga dialami RSUD Karangasem, Bali, yang sejak beberapa tahun terakhir kekurangan dokter spesialis jantung, radiologi, dokter umum, hingga penyakit dalam.
Kabid Pelayanan RSUD Karangasem Bali I Komang Wirya menyebut hanya tersedia satu dokter spesialis jantung yang harus melayani sekitar 10–15 orang pasien per hari.
Di Aceh, seorang bocah kelas 6 SD, asal Pidie Jaya, Rahmat Aulia, harus membawa ayahnya menggunakan becak motor setiap 10 hari sekali ke rumah sakit di Aceh Utara sejauh 160 kilometer, karena fasilitas kesehatan yang belum merata.
Barang langka
Kemenkes melaporkan, Indonesia masih kekurangan sekitar 3.941 dokter Obstetri Ginekologi. Di Indonesia sekitar 300 ibu hamil meninggal dari 100.000 kelahiran hidup.
Selain itu, bayi neonatal dengan rentang usia 0–28 hari dilaporkan meninggal dari setiap 1.000 kelahiran. Angka ini jauh di atas negara lain, seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Sistem Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang berlaku saat ini masih memerlukan rata-rata 36 tahun untuk memproduksi kebutuhan dokter kandungan di Indonesia.
Dokter spesialis seakan menjadi barang langka di Indonesia. Kekurangan dokter spesialis terbanyak dialami layanan obgin sebanyak 3.941 dokter, dokter spesialis kesehatan anak 3.662 dokter, dokter penyakit dalam 2.581 dokter.
Dengan jumlah dosen dan kuota mahasiswa per dosen saat ini, fakultas kedokteran di Indonesia diperkirakan membutuhkan 1,36 tahun untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis obgin, 2,26 tahun untuk dokter spesialis kesehatan anak, 3,23 tahun untuk dokter spesialis penyakit dalam.
Biaya pendidikan dan biaya “siluman” yang mahal diduga kuat menjadi penyebab minimnya jumlah dokter spesialis di Indonesia, mulai dari biaya masuk PPDS, biaya semester kuliah (10 semester).
Mahasiswa kedokteran saat ini dihadapkan pada persoalan biaya workshop dan pelatihan di luar kota, biaya kehidupan untuk pribadi dan keluarga sehari-hari, belum lagi biaya “tidak resmi” untuk memenuhi permintaan senior membeli makanan, kebutuhan kantor, hingga obat-obatan.
Selain kuota PPDS yang terbatas dan sistem bullying, biaya “siluman” adalah alasan kenapa peminat
program dokter spesialis sedikit. Ketidakterbukaan pada lembaga pendidikan perihal biaya “siluman” diduga karena biaya tersebut ilegal.
Di sisi lain, dokter yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis atau residen tidak memperoleh imbalan gaji, meski kerja 48 jam per pekan tanpa istirahat.
Padahal sistem gaji untuk dokter residen diamanatkan dalam UU No.20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Pasal 31 ayat b mengatur setiap mahasiswa berhak memperoleh insentif di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran.
Ketentuan itu berlaku bagi mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis.
Apa yang diatur dalam ketentuan itu jadi hal lumrah di negara lain. Rata-rata gaji dokter residen di Amerika Serikat misalnya, bisa sampai Rp900 juta per tahun, di Australia sampai Rp1,2 miliar per tahun, di India Rp121 juta per tahun.
Akselerasi
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengemukakan konsep pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (RS) merupakan sistem terbaru untuk meningkatkan jumlah serta upaya pemerataan dokter spesialis di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Penambahan kapasitas fakultas kedokteran sesuai rencana pemerintah diperkirakan memangkas waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis menjadi 6–8 tahun.
Konsep yang diusung melalui pendampingan dokter senior di rumah sakit, hingga memungkinkan adanya sistem pembayaran gaji bagi peserta program.
Dekan Fakultas Kedokteran UI Prof Ari Fahrial dalam Diskusi Publik Urgensi RUU Kesehatan menilai program tersebut berpotensi menurunkan kualitas kompetensi lulusan dokter spesialis, karena ketiadaan kurikulum serta tidak dilibatkannya peran guru besar dalam pemenuhan kompetensi.
Ari berpendapat, pendidikan kedokteran dan praktik kedokteran tidak dapat dicampuradukkan melalui ketentuan Omnibuslaw. Sebab sama-sama masih dihinggapi problematika yang belum sepenuhnya tuntas.
Pesatnya perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia belum disertai dengan infrastruktur dan sumber daya pendidikan belum merata di Indonesia. Contohnya, banyak fakultas kedokteran yang belum memiliki dosen ilmu biomedik hingga perlunya beasiswa bagi calon pendidik.
Sedangkan problematika pada praktik kedokteran dihadapkan pada tantangan penggunaan inovasi telemedisin dan kecerdasan buatan (Al) di dunia kesehatan, menghadirkan dokter asing di Indonesia, hingga percepatan kelulusan.
Berdasarkan pengalaman Ari dalam perumusan UU Kesehatan 10 tahun lalu, isu RUU yang kini dibahas tidak berbeda jauh. Krisis dokter spesialis sekarang, justru menjadi akibat dari ketidakpatuhan pemangku kepentingan atas mandat UU No 20/2013.
Dalam agenda yang sama, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Adib Khumaidi mendorong dilakukan penyelarasan data jumlah profesi dokter di Indonesia.
Jumlah dokter dan dokter spesialis versi IDI berkisar 204.492 orang, versi KKI 214.878 orang. Jumlah itu berbeda dengan laporan Kemenkes yang berjumlah 145.913 orang.
Adib khawatir jika akselerasi produksi dokter di Indonesia, justru berimplikasi pada penambahan angka pengangguran intelektual profesional di Indonesia.
Jika merujuk pada data IDI dan KKI dengan jumlah dokter spesialis yang ada berkisar 44.753 orang, maka kebutuhan dokter spesialis yang perlu ditambah berkisar 67.000 orang untuk memenuhi rasio WHO 1:1.000 di Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra terkait RUU Kesehatan yang kini dibahas legislatif, profesi dokter spesialis merupakan ikhtiar yang harus dipenuhi dalam menjamin hak warga negara atas pelayanan kesehatan yang berkeadilan.
RUU Kesehatan sudah seharusnya mengedepankan prinsip kolaborasi seluruh pemangku kepentingan dalam memberikan solusi atas peningkatan mutu layanan dan kesehatan yang lebih optimal bagi seluruh masyarakat.